Selasa, Januari 15, 2008

Kebijakan Pejabat Daerah tak Bisa Dikasasi

Kebijakan Pejabat Daerah tak Bisa Dikasasi
JAKARTA - Keputusan pejabat daerah hanya bisa digugat di pengadilan tingkat pertama dan banding alias tak bisa dikasasi. Mahkamah Konstitusi menguatkan supremasi pejabat daerah itu dengan menolak gugatan uji materiil Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Dalam pasal a quo, diatur bahwa MA berwenang membatasi kasasi perkara tata usaha negara (TUN) yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah. Pemohon yakni Hendriansyah, Direktur CV Sungai Bendera Jaya, Kutai Timur menganggap pembatasan itu tak adil dan diskriminatif karena pembatasan tak berlaku untuk keputusan yang dihasilkan pejabat pusat.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie menolak alasan pemohon bahwa pembatasan tersebut diskriminatif, kecuali jika ada kasus pemohon perkata TUN punya kualifikasi sama tapi mendapat perlakuan berbeda. ''Apakah ketentuan itu mengakibatkan pemohon diperlakukan tidak sana di depan hukum dan pemerintahan?,'' ujar anggota majelis HAS Natabaya dalam sidang yang dimulai pukul 13.00 itu.

Pembedaan itu, ujarnya, bukan bukti perlakuan tidak sama di hadapan hukum melainkan konsekuensi dari adanya perubahan perundang-undangan. MK sepakat dengan pendapat MA bahwa pembatasan bertujuan mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke lembaga peradilan tertinggi tersebut. Alasan yang lain adalah untuk mendorong kualitas putusan tingkat pertama dan banding.

Tak hanya itu, dari sudut pandang harmonisasi horizontal antar-peraturan perundang-undangan pembatasan juga diperbolehkan. Diungkapkan Natabaya, Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur putusan bisa kasasi, kecuali UU menentukan lain. Meski putusan banding berkekuatan hukum tetap (in kracht), upaya hukum luar biasa masih dimungkinkan. ''Jika terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang menyebabkan kerugian konstitusional pemohon, masih bisa dimohonkan upaya luar biasa peninjauan kembali agar MA memperbaiki putusan yang berkekuatan hukum tetap itu,'' tambah Natabaya.

Namun, putusan MK tak bulat. Anggota majelis Laica Marzuki justru berpendapat gugatan tersebut harus diterima. Hakim konstitusi yang diusulkan dari MA itu menilai kasasi adalah konsekuensi pelimpahan wewenang pusat ke daerah alias desentralisasi. ''Pemeriksaan perkara kasasi TUN di daerah-daerah merupakan keniscayaan hukum. Pembentuuk UU seyogyanya tidak melucutinya,'' ujar hakim paro baya itu.

Kompleksitas penyelenggaraan pemerintah yang menjadi beban tugas publik pejabat-pejabat daerah membuka peluang adanya kesalahan dalam menyusun kebijakan. Konsekuensinya, cukup banyak sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata di daerah otonom.

Peradilan kasasi, ujar Laica, dibutuhkan. ''Kasus TUN di daerah otonom membutuhkan pemeriksaan peradilan kasasi dari para judex juris (MA, Red) secara uitputtend, bukan hanya berpaut dengan aspek des faktum (berdasar fakta),'' tambahnya. Dengan pembatasan itu, Laica berpendapat hal tersebut diskriminatif terhadap para pencari keadilan di daerah otonom.
Terpisah, kuasa hukum pemohon Tumbur Ompu S berpendapat yang yang benar adalah pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Laica. “MK tak dukung kebijakan pejabat daerah bisa dikasasi,'' ujarnya usai persidangan. (ein)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar