JAKARTA – Mantan Duta Besar (Dubes) RI di Malaysia Jenderal Pol (pur) Rusdihardjo (62) sebentar lagi diajukan ke meja hijau. Kemarin, Senin (14/1), secara resmi statusnya dinaikkan sebagai terdakwa kasus pungutan liar (pungli) di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memeriksa sudah mengeluarkan perintah penahanan terhadap mantan Kapolri tersebut. Hanya, Rusdi yang menjabat Dubes pada 2004–2006 itu tidak langsung masuk jeruji sel. Sebab, dia sedang sakit, yakni menderita penyumbatan saluran kemih. Untuk memastikan kondisi tersebut, KPK meminta second opinion dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sementara itu, mantan bawahannya, yakni mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Arihken Tarigan, langsung ditahan. ’’Terhadap Rsh (Rusdihardjo, Red), sebelum dilakukan penahanan di rutan, yang bersangkutan ternyata dalam keadaan sakit dan untuk itu kami lakukan observasi,’’ ujar Direktur Penuntutan KPK Ferry Wibisono.
Rusdi sebenarnya sudah mengantongi surat sakit dari RS Medistra tempat dirinya dirawat selama ini. Surat dokter tersebut belum bisa dijadikan dasar apakah dia langsung ditahan atau dibantarkan.
Menurut Ferry, ada dua hal yang akan dipastikan dari keterangan dokter RSCM. Pertama, apakah kondisi Rusdi memungkinkan untuk ditahan dan apakah dia memerlukan operasi secara mendesak. ’’Bila kondisi yang bersangkutan memungkinkan ditahan, akan kami lakukan karena surat perintah pimpinan untuk menahan sudah dikeluarkan,’’ tegas Ferry yang didampingi Direktur Penyelidikan KPK Ade Rahardja dan Humas KPK Johan Budi SP.
Kapan second opinion diperoleh? Menurut dia, mekanisme standar orang yang mengalami sakit, sebelum masuk rutan, akan diteliti dulu kesehatannya. Dia menuturkan, jangan sampai faktor kesehatan tak diperhitungkan, lantas berakibat fatal. Apalagi Rusdihardjo sudah tua. ’’Bagaimanapun adalah hak, sekalipun yang bersangkutan adalah seorang tersangka,’’ ujarnya.
Dia menambahkan, KPK mengharapkan pendapat dokter RSCM bisa segera keluar.
KPK mengaku punya bukti kuat bahwa kedua terdakwa itu telah bertindak pidana korupsi. Modusnya, seperti pendahulunya, Hadi A. Wayarabi Alhadar, Rusdihardjo memberlakukan tarif ganda biaya pengurusan dokumen keimigrasian. Tarif besar diberlakukan terhadap pemohon, sedangkan tarif yang lebih kecil disetorkan negara ke pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut Ferry, akibat perbuatan dua terdakwa sejak Januari 2004 sampai Oktober 2005 tersebut, diduga negara dirugikan lebih dari RM6,181 juta atau setara Rp15 miliar.
Uang yang mengalir kepada terdakwa? ’’Penerimaan Rsh berkisar RM800 ribu atau sekitar Rp2 miliar,’’ ungkapnya.
Kasus yang menjerat Rusdihardjo ditemukan inspektorat Deplu saat yang bersangkutan masih menjabat di Malaysia. ’’Setelah itu, dia (Rusdihardjo) dihentikan,’’ kata Ferry.
Hadi Wayarabi sudah terbukti menikmati pungli tersebut dalam persidangan. Pendahulu Rusdihardjo itu divonis 2,5 tahun penjara.
Sebelumnya, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengungkapkan, KPK sengaja tak langsung ’’menangkap’’ Rusdihardjo saat kasus tersebut tercium. Itu semata-mata dikhawatirkan bisa mengganggu urusan diplomatik RI- Malaysia.
Setelah Rusdi lepas dari jabatannya di KBRI Kuala Lumpur, KPK langsung memeriksa dan menetapkan dia sebagai tersangka pada 12 Maret 2007. Status hukum itu baru diumumkan kepada publik sejak 2 Januari 2004 oleh pimpinan baru KPK. ’’Segera kami limpahkan ke pengadilan. Kami punya batas waktu 14 hari,’’ kata Ferry. Berkas Rusdi akan disatukan dengan Arihken. (ein)
Selasa, Januari 15, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar