***Dokter Batal Lepas Ventilator
JAKARTA - Kondisi mantan Presiden Soeharto selama dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) benar-benar tidak stabil. Membaik, memburuk, membaik, memburuk, membaik lagi, dan kemarin kondisinya kembali memburuk. Tim dokter kepresidenan menemukan penyebaran infeksi hampir di seluruh tubuh penguasa Orde Baru itu. ”Infeksi ini bersifat sistemik. Karena itu, ini ancaman kepada beliau,” kata dr Mardjo Soebiandono Sp B, ketua Tim Dokter Kepresidenan, kepada para wartawan di RSPP, Selasa (15/1).
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tekanan darah Soeharto menurun menjadi 90/30 mmHg. Selain daya tahan tubuh yang merosot, fungsi jantung Soeharto juga belum stabil. Tim dokter masih menelusuri bagian tubuh mana yang terinfeksi. ”Kalau yang pasti, adalah infeksi di bagian paru paru,” katanya. Menurut Mardjo, infeksi yang dialami Soeharto disebabkan komplikasi.
Kondisi Soeharto kemarin memang sangat berbeda dengan malam sebelumnya. Senin malam lalu (14/1), Mardjo mengatakan kondisi Soeharto secara umum membaik. ”Fungsi jantung sudah membaik, tetapi masih terjadi gangguan fungsi paru-paru,” ujar Mardjo Senin malam lalu.
Saat itu tekanan darah Soeharto naik dari dibanding hari sebelumnya berkisar 90 sampai 110 per 40 sampai 50 mm Hg. Yang masih terganggu adalah paru-paru. Itu terjadi karena adanya penimbunan cairan.
Selain kerja jantung yang mulai membaik, menurut Mardjo, fungsi otak Soeharto tidak terganggu. Menurut dia, selama satu jam tidak diberi obat, Soeharto bisa merespons kondisi sekitar.
Karena kondisinya dianggap membaik, Mardjo Senin malam lalu mengatakan, tim dokter akan melepas ventilator (alat bantu pernapasan) dari mulut Soeharto. Terkait rencana itu, kemarin sebenarnya tim dokter akan memasang tracheostomi, yakni membuat lubang di saluran pernapasan (trakea), tepatnya di bawah jakun. Itu sebagai pengganti ventilator.
Namun, rencana tersebut ditunda karena kondisi Soeharto kembali memburuk. ”Kami harus menunggu sampai beliau stabil terlebih dahulu,” ujar Mardjo. Selain itu, menurut tim dokter, produksi urine Soeharto masih negatif. Tim dokter juga masih memberlakukan larangan berkunjung kepada tamu.
Di tempat yang sama, anggota tim dokter kepresidenan yang lain dr M. Munawar SpJP menyatakan, infeksi sistemik yang dialami Soeharto juga bisa disebabkan mengganasnya kuman-kuman yang menjadi patogen (kuman jahat).
Selain itu, penggunaan infus, CVVHD (continuous venovenous hemodiafiltration), dan ventilator turut memicu munculnya infeksi. ”Risiko penggunaan alat-alat semacam itu pasti ada. Salah satunya sumber infeksi,” ujar Munawar.
Menurut dia, tim dokter saat ini berusaha memberikan obat-obatan antiinfeksi. Pengawasan kepada Soeharto pun akan lebih intensif. ”Terutama untuk jantung beliau. Pengawasan akan dilakukan setiap menit,” tegasnya.
Hingga tadi malam pukul 19.00 WIB, belum ada perkembangan yang signifikan terhadap kondisi Soeharto.
Tim Pengacara Akui Surati SBY
Di luar sakit Soeharto, Juan Felix Tampubolon, pengacara Soeharto, mengakui wacana pencabutan gugatan perdata terhadap kliennya dalam kasus korupsi Yayasan Supersemar merupakan usulnya. Setidaknya, itu terungkap dari surat tim pengacara kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Januari atau satu pekan sebelum kedatangan Jaksa Agung Hendarman Supandji pada Sabtu dini hari lalu (12/1). ’’Saya kirim surat ke SBY. Saya minta kasus Pak Harto diakhiri dengan pencabutan surat kuasa kepada jaksa agung,’’ kata Juan Felix yang ditemui seusai mengikuti persidangan gugatan kasus Soeharto di PN Jakarta Selatan kemarin.
Dalam surat tersebut, lanjut Juan Felix, tim pengacara mengajukan persyaratan, penyelesaiannya tidak diikuti dengan pembayaran uang kepada negara. ’’Kami mengajukan tanpa syarat,’’ ujar pengacara hobi bola itu.
Meski demikian, Juan Felix mengaku tidak tahu apakah kedatangan Hendarman terkait tindak lanjut suratnya. ’’Soal itu, mereka bisa jadi punya ide sendiri,’’ jelas Juan Felix. Sebab, lanjutnya, konsep penyelesaian yang ditawarkan tim pengacara dengan jaksa agung berbeda. Tim pengacara mengusulkan tawaran perdamaian tanpa syarat membayar uang sepeser pun. Sebaliknya, jaksa agung ngotot penyelesaian win-win solution yang berarti Soeharto harus menyerahkan sebagian uang yang diasumsikan pengembalian kerugian negara.
Menurut Juan Felix, kliennya tidak dapat dikenai keharusan membayar kerugian negara karena seluruh aset Yayasan Supersemar telah diserahkan ke pemerintah. ’’Aset yayasan telah dikoordinasikan ke Setneg. Sedangkan pengelolaan ditangani Kantor Menko Kesra,’’ katanya.
Di tempat yang sama, pengacara Soeharto lain, O.C. Kaligis, menambahkan, tim pengacara tidak minta jaksa agung datang menemui keluarga Soeharto di RSPP. ’’Itu bukan kami yang minta,’’ ujar Kaligis. Tim pengacara, lanjutnya, punya sikap bahwa Soeharto tak bersalah sehingga tidak membutuhkan penyelesaian gugatan dengan menutup kerugian negara.
Di PN Jakarta Selatan, persidangan gugatan kasus Supersemar kembali digelar. Selama persidangan, sama sekali tidak disinggung usul penyelesaian di luar pengadilan sebagaimana yang ditawarkan pemerintah.
Agenda persidangan tidak berubah, yakni mendengarkan saksi ahli yang dihadirkan kubu tim pengacara tergugat. Tiga saksi itu adalah pakar perdata dari Universitas Airlangga (Unair) Rudi Prasetyo, pakar hukum administrasi Immanuel Suratmoko, dan pakar hukum kontrak Agus Yuda Hermoko.
Ketiga saksi tersebut umumnya meringankan posisi Soeharto. Rudi Prasetyo, misalnya, tak setuju dengan isi gugatan JPN yang menyebutkan bahwa penempatan uang Yayasan Supersemar pada sejumlah perusahaan kroni melanggar PP No 15/1976 tentang Pengeluaran Dana untuk Kegiatan Sosial Khusus Bidang Pendidikan. ’’Kalau tidak menyalahi anggaran dasar atau sesuai tujuan yayasan, maka penempatan uang itu dibolehkan. Ini semacam investasi,’’ jelas Rudi dalam keterangannya di persidangan.
Sedangkan saksi kedua, Immanuel Suratmoko, mengatakan, Soeharto sebenarnya telah mempertanggungjawabkan kebijakannya –termasuk dalam kasus Supersemar– secara politis saat digelar Sidang Istimewa MPR pada 1998. Meski demikian, tim JPN menggiring kesaksian Immanuel bahwa pertanggungjawaban politis dapat diikuti dengan pertanggungjawaban hukum.
Dalam persidangan, majelis hakim minta tim pengacara memperbarui surat kuasa baru dari yayasan. Sebab, Ketua Yayasan Supersemar Aryo Darmoko meninggal dunia pada 12 Januari lalu. Sedangkan kepada JPN, majelis menyediakan waktu satu pekan untuk menyerahkan alat bukti berupa hasil penelitian seorang pakar terkait yayasan. (agm/bay/ai/any/nda/kum)
Rabu, Januari 16, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar