***Setelah Cendana Menolak
Penyelesaian Win-Win Solution
JAKARTA – Pemerintah memutuskan menyelesaikan kasus Soeharto lewat pengadilan. Jalan itu dipilih setelah pengacara Cendana menolak negosiasi pemerintah yang menawarkan penyelesaian saling menguntungkan, win-win solution.
Juru Bicara Kepresidenan Andi A. Mallarangeng menegaskan, Presiden SBY akan menggunakan segala cara untuk mengembalikan kerugian keuangan negara di yayasan yang didirikan mantan penguasa Orba itu dan kroninya. ”Beliau adalah konstituen (pelaksana konstitusi, Red) sejati. Ini kasus perdata dan bisa diselesaikan melalui dua kemungkinan, melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Keduanya sah menurut hukum,” ujar Andi kepada wartawan di gedung Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (15/1).
Gugatan perdata pemerintah terhadap Soeharto kemarin digelar di PN Jakarta Pusat. Dalam kasus itu, pemerintah lewat jaksa pengacara negara (JPN) menuntut pengembalian dana yang disalahgunakan mantan presiden itu di Yayasan Supersemar senilai USD420 juta dan Rp185,92 miliar, plus ganti rugi imateriil Rp10 triliun.
Supersemar didirikan untuk menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak 1978. Dana dihimpun dari sisa laba bersih bank pelat merah dan sumbangan masyarakat. JPN menilai telah terjadi penyelewengan, yang merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata. Diduga ada dana yang digunakan bukan untuk keperluan tujuan yayasan.
Pengacara Soeharto lewat O.C. Kaligis menjelaskan bersedia berdamai dengan pemerintah dengan tanpa syarat. Artinya, pemerintah harus mencabut gugatan perdata itu, tapi Cendana tidak mengeluarkan kompensasi sepeser pun.
Pemerintah, tegas Andi, tidak akan menyelesaikan gugatan itu dengan cara melanggar hukum. ”Jadi, harus kembali ke koridor hukum,” tegasnya.
Jawaban yang sama akan disampaikan kepada kelompok masyarakat yang mendesak Presiden SBY mengampuni mantan penguasa Orba itu. Dalam konstitusi, kekuasaan presiden untuk memberi ampun bisa dilakukan dalam empat bentuk. Yakni, pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Empat instrumen itu tidak bisa digunakan bila Soeharto masih memiliki kasus hukum. ”(Pengampunan) diberikan berdasarkan status atau keadaan. Contoh, grasi dikeluarkan setelah ada putusan tetap pengadilan,” terangnya.
Karena tidak memiliki alat untuk memaafkan kesalahan di depan hukum sebelum masuk pengadilan, Presiden SBY tidak bisa memberikan maaf untuk Soeharto atas nama rakyat Indonesia. ”Ini berbeda dengan pengampunan yang diberikan Presiden Ford pada mantan Presiden Nixon di Amerika Serikat,” tuturnya.
Di Amerika Serikat, tutur Andi, ketika itu berlaku istilah pardon untuk seluruh kesalahan mantan Presiden Nixon yang telah atau mungkin terjadi. ”Indonesia tidak mengenal mekanisme hukum seperti itu,” tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah membantah berinisiatif menawarkan upaya penyelesaian di luar pengadilan atas kasus hukum perdata mantan Presiden Soeharto. Pemerintah hanya merespons permintaan keluarganya.
”Jangan disalahtafsirkan, seakan-akan pemerintah yang berinisiatif mengajukan win-win solution seperti itu. Pemerintah justru hanya merespons keinginan pihak keluarga Soeharto,” ujar Mensesneg Hatta kepada wartawan di gedung Sekretariat Negara, Jalan Majapahit, Jakarta, kemarin.
Bukankah pihak Cendana telah menolak tawaran pemerintah? Bukankah yang pertama melakukan tawaran negosiasi adalah Jaksa Agung Hendarman Supandji yang mengaku disuruh SBY?
Menjawab hal itu, Andi menjelaskan semuanya berawal dari Cendana. Usul kepada Presiden SBY disampaikan keluarga Soeharto melalui Wapres Jusuf Kalla dan mantan Wapres Try Sutrisno. Wapres sempat dua kali bertemu keluarga Soeharto ketika menjenguk ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).
Hatta juga membantah penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya tawar-menawar nilai ganti rugi keuangan negara yang dirugikan Yayasan Supersemar. Apalagi, banyak pihak menuding pemerintah berupaya menyelesaikan perkara perdata Soeharto dengan melanggar hukum. ”Jangan disalahartikan perkara tersebut akan diselesaikan dengan cin-cai (damai, Red). Itu bahasa yang lebih menyesatkan. Pemerintah berkomitmen menyelesaikan perkara tersebut sesuai asas keadilan, tepat, dan benar,” tegas mantan Menteri Perhubungan itu.
Terkait biaya perawatan Soeharto di RSPP, Hatta menegaskan sepenuhnya ditanggung pemerintah. Hal tersebut sesuai ketentuan Undang-Undang No 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wapres serta bekas Presiden dan bekas Wapres. ”Pada pasal 7 huruf c disebutkan, biaya perawatan kesehatan presiden, mantan presiden dan keluarga, perawatan kesehatan Wapres dan mantan Wapres berikut keluarganya ditanggung oleh negara,” terang Hatta. Pertanggungjawaban biaya perawatan dari keuangan negara tidak dibatasi plafonnya. Meski demikian, biaya tersebut tidak diberikan dalam bentuk tunai dalam komponen pensiun, melainkan penggantian biaya yang ditagihkan. (noe)
Rabu, Januari 16, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar