Jumat, Januari 18, 2008

Jakgung Tolak Sidang Cepat Soeharto

***Try Sutrisno Akui Usulkan
Penyelesaian di Luar Pengadikan

JAKARTA – Kejaksaan Agung menolak usul Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) agar pemerintah menggelar sidang singkat untuk mengadili perkara mantan Presiden Soeharto. Jaksa Agung Hendarman Supandji menjelaskan, dirinya tak ingin main-main dalam menyampaikan tuntutan.

”Mana mungkin! Mana mungkin!” tegas Hendarman di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (17/1). Sehari sebelumnya, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution mengusulkan pengadilan singkat paling lambat 24 jam untuk mengadili Soeharto. Pengadilan itu langsung melibatkan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Buyung menyampaikan hal itu setelah memberi pertimbangan kepada Wapres Jusuf Kalla. Menurut dia, itu salah satu pintu untuk mengampuni Soeharto, karena harus didahului putusan pengadilan. Buyung mengaku sudah menasihati Presiden SBY untuk tak mengampuni Soeharto bila tanpa proses pengadilan.

Menurut Hendarman, persoalan pelik yang dihadapi Kejagung bila menggelar persidangan cepat adalah pembuktian dakwaan. Jaksa pengacara negara akan kesulitan membuktikan unsur kerugian negara dalam kasus perdata Yayasan Supersemar. ”Saat ini kan baru dihitung seluruh aset penyelesaian (kasus perdata Yayasan Supersemar). Kita kan menuntut (ganti rugi pada negara) Rp4 triliun dan (kerugian imaterial) Rp6 triliun,” tuturnya.

Gugatan perdata pemerintah terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar saat ini berlangsung di PN Jakarta Selatan. Sedangkan untuk gugatan pidana, Kejagung mengeluarkan SKPP (surat keputusan penghentian penuntutan) karena Soeharto mengalami sakit permanen. Pengadilan pidana bisa dibuka lagi bila terdakwa sehat.

DI BALIK PERTEMUAN RSPP
Hendarman juga menuturkan kronologi pertemuan dirinya dengan keluarga Soeharto di RSPP pada Sabtu (12/1) dini hari. Dalam pertemuan itu, dibahas penyelesaian win-win solution. Tidak ada hasil pertemuan karena kubu Cendana meminta gugatan terhadap Soeharto dicabut tanpa harus membayar kompensasi.
Pada Jumat tengah malam, cerita Hendarman, Presiden SBY memberikan surat kuasa kepada dirinya sebagai jaksa pengacara negara untuk membicarakan penyelesaian kasus perdata Soeharto di luar pengadilan.

Tengah malam itu Jaksa Agung ditemui putra-putri Soeharto, yakni Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati (Mbak Titiek), dan Hutomo Mandala Putra (Tommy). ”Saya sampaikan, dalam penyelesaian perkara perdata dikenal ADR (alternative dispute resolution). Bila pihak penggugat dan tergugat ada dispute, ada penyelesaian di luar pengadilan, antara lain arbitrase dan out of court settlement,” tuturnya.

Arbitrase tidak mungkin diambil karena dalam perjanjian pendirian yayasan tidak dikenal arbitrase. Karena itu, ditawarkan penyelesaian di luar pengadilan, yakni kesepakatan damai. ”Solusi itu ada UU. Tapi, ternyata tidak ketemu (kesepakatan). Ya sudah, kalau tidak ketemu (persidangan harus dilanjutkan),” terangnya.
Malam itu keluarga Cendana memang tidak menyampaikan tawaran apa pun atas proposal pemerintah. Namun, esoknya, pengacara Soeharto Otto Cornelius Kaligis mengirim surat kepada Presiden SBY.

Isinya menjelaskan bahwa bentuk penyelesaian yang diinginkan keluarga Soeharto adalah pencabutan surat kuasa (penuntutan dari presiden pada jaksa pengacara negara) tanpa syarat. Permintaan pencabutan penuntutan tanpa prestasi itu yang ditolak pemerintah.

Meski ajakan perdamaian datang dari keluarga Soeharto, dan belakangan ditolak, Hendarman berbaik sangka tidak menyebutnya sebagai upaya mempermalukan pemerintah. ”Saya tidak tahu hal itu,” ujarnya.
Meski dituding kurang ajar karena meminta kompensasi dalam kondisi kesehatan Pak Harto yang kritis, Hendarman tidak merasa disudutkan. ”Saya hanya melaksanakan UU (melaksanakan kuasa merundingkan perdamaian),” tegasnya.

TRY AKUI
Sementara itu, Try Sutrisno, salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan itu, mengakui dirinya yang berinisiatif mengusulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus perdata mantan Presiden Soeharto di luar pengadilan (out of court settlement). ’’Benar bahwasannya pemerintah mengirimkan jaksa agung sebagai respons atas permintaan saya pribadi dan bukan atas nama keluarga,’’ aku Try dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta kemarin. Pernyataan itu dikirimkan ke redaksi setelah wartawan koran ini menghubungi Try di rumahnya, Jalan Purwakarta No 6, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Try, permintaan tersebut disampaikan kepada Wapres Jusuf Kalla untuk diteruskan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kebetulan berada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Try lantas membeberkan pertemuannya dengan jaksa agung pada Sabtu dini hari (12/1). Mantan Wapres itu diminta mendampingi keluarga Soeharto pada pertemuan tersebut. Jaksa agung juga tidak keberatan atas kehadiran Try. ’’Inti pembicaraan jaksa agung agar ada jalan keluar cepat melalui out of court settelement dengan prinsip musyawarah untuk win-win solution,’’ jelas Try. Pada pertemuan tersebut, keluarga diwakili sejumlah putra-putri Soeharto –termasuk Siti Hardijanti ”Tutut” Rukmana dan Hutomo ”Tommy’ Mandala Putra. Tim pengacara tidak ikut hadir.

Apa hasil pertemuan? Try mengatakan, pertemuan diakhiri tanpa membuahkan kesimpulan. ’’Pertemuan selesai dengan jawaban pihak keluarga bahwa masalah penyelesaian tersebut belum bisa dibicarakan lebih lanjut. Alasannya, kesehatan Pak Harto dalam keadaan kritis dan tidak memungkinkan berkomunikasi,’’ jelas Try. Padahal, terkait materi gugatan, Soeharto adalah (mantan) ketua Yayasan Supersemar sekaligus pembina yang berwenang memutuskan.

Menurut Try, dengan penjelasan tersebut diharapkan semua pihak tidak memolitisasi penyelesaian kasus Soeharto di luar pengadilan. ’’Semua pihak jelas punya niat baik dan tulus untuk menyelesaikan kasus ini sebagai respons dari masyarakat pada umumnya,’’ ujarnya. (noe/agm/tof)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar