***Hubungan Kiai-Santri Merenggang
JAKARTA - Refleksi menjelang peringatan 82 Tahun Nahdlatul Ulama (NU) digelar Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Rabu (16/1). Dalam diskusi Membangun NU Berbasis Umat itu, NU disebut sudah kehilangan basis kekuatan massa yang mengakar.
Ketua PB NU Masdar Farid Mas’udi yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menjelaskan, pada dasarnya, eksistensi NU ditopang dua kekuatan besar. Mereka adalah kiai dan santri (umat). “Hubungan dua basis tersebut akhir-akhir ini meregang,’’ ujarnya.
Kiai sepuh yang dahulu menjadi soko guru NU, lanjut Masdar, basisnya mulai rapuh. Sementara regenerasi kiai yang mempunyai karisma dan integritas mumpuni tidak berjalan maksimal. “Dua kaki itu yang satu rapuh dan satunya lagi belum disambung,’’ tandasnya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi kegagalan itu adalah terlalu sibuknya kiai NU berkutat dengan masalah politik.
Indikasi rapuhnya pengaruh kiai terhadap umat (santri) tampak jelas pada kekalahan calon-calon kepala daerah yang didukung NU. Di beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Bojonegoro, calon bupati yang mendapat restu dari kiai sepuh justru tak dipilih masyarakat. Dalam beberapa survei juga terbukti bahwa para santri tak lagi mudah dipengaruhi oleh figur kiai. Mereka sudah bisa menilai kepentingan dan keuntungan dari memilih seorang tokoh menjadi pemimpin.
Senada dengan Masdar, Wakil Ketua DPD Laode Ida yang diundang sebagai pengamat NU menjelaskan, renggangnya hubungan emosional antara kiai dan santri disebabkan pudarnya ketokohan ulama NU. ’”(Santri, red) Tidak bisa diarahkan lagi oleh pimpinan informal,’’ tambahnya.
Kenyataan tersebut bisa dinilai positif sebagai pembelajaran politik masyarakat. Ketidaktundukan dalam pengorganisasian oleh tokoh informal mendorong para santri mampu melihat kepentingan di belakang sebuah agenda politik. Laode juga melihat para santri sudah mampu menghitung keuntungan resiprokal dari suara yang mereka berikan kepada calon tertentu.
Bahkan, Laode berani memprediksi bahwa NU pada masa depan hanya akan menjadi organisasi fungsional yang membawa nilai-nilai sejarah. “(Kalau begitu,red) NU tidak ada gunanya lagi,’’ tandasnya.
Laode yang mengkaji NU dalam tesis (master) dan disertasinya (doktoral) juga berpendapat, NU sudah tidak lagi menarik untuk ditulis. ’’Sebab, NU sama saja dengan yang lain,’’ terangnya.
Namun, keterpurukan NU tersebut bisa segera diperbaiki jika para kiai sepuh kembali kepada fungsinya. Yaitu, berkonsentrasi memberikan pendidikan dan mengembangkan kultur ke-nahdliyin-an kepada umat. Dengan begitu, regenerasi bisa dilakukan. “Sekarang ini kaum muda NU yang sebenarnya berlatar belakang kultural atau intelektual justru memilih menjadi politisi. Sebab, mereka berpikir, menjadi politisi lebih mudah mendapatkan duit,’’ ungkapnya.
Ketua GP Ansor Saefullah Yusuf mengaku hanya bisa berharap agar para kiai NU kembali ke basis utama. Saefullah melihat NU sebagai aset nasional yang mampu mewarnai dinamika sosial, politik, dan budaya Indonesia. (cak/oni)
Kamis, Januari 17, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar