***Nasihat Wantimpres untuk
Presiden SBY dan Jusuf Kalla
JAKARTA – Di tengah pro kontra untuk mengampuni mantan Presiden Soeharto, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution mengusulkan terobosan hukum. Usul itu berupa pengadilan cepat dan singkat untuk mengadili penguasa Orba tersebut.
Dalam kapasitas sebagai penasihat presiden di bidang hukum, dia menyarankan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk menggelar sidang singkat, maksimal 24 jam. ’’Setelah pidananya disidangkan, baru kita bicara mau diampuni atau tidak, mau direhabilitasi atau tidak,’’ jelas Buyung usai bertemu Jusuf Kalla di Istana Wapres kemarin.
Pengampunan tersebut sangat penting agar keluarga Cendana bisa berkonsentrasi mengurusi kondisi kesehatan Soeharto yang terus menurun. Selain itu, bila Soeharto meninggal, mantan presiden yang berkuasa 32 tahun tersebut bisa pergi dengan ikhlas, tanpa tunggakan kasus hukum, dan namanya kembali pulih.
Meski Soeharto sedang sakit, sidang itu bisa digelar tanpa kehadirannya. Walau demikian, persidangan tersebut berbeda dengan sidang in absensia. ’’Memang persidangan seperti itu butuh terobosan hukum serta niat kuat dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Yang penting, butuh keyakinan dan alat bukti,’’ kata mantan ketua YLBHI itu.
Buyung juga menegaskan, Surat Keterangan Penghentian Penyidikan Perkara (SKP3) kasus pidana Soeharto yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 2006 bisa dicabut. Menurut dia, putusan tersebut diterbitkan bukan untuk menghentikan perkara, tetapi menghentikan proses persidangan karena terdakwa Soeharto sakit permanen. ’’Terobosan ini hanya untuk mengembangkan kasus itu supaya tidak berhenti tanpa penyelesaian.’’
Tanpa terobosan hukum itu, katanya, Presiden SBY tidak mungkin mengampuni Soeharto sebelum status hukumnya jelas. Bila Soeharto diampuni saat ini, SBY melanggar konstitusi sehingga mandatnya layak dicabut (impeachment). Pokok pikiran itu disampaikan Buyung kepada Jusuf Kalla. ’’Saya juga sudah bicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden juga sudah saya minta tidak mengampuni Soeharto sebelum sidang selesai. Kalau melakukan itu, bisa terancam impeachment,’’ ungkapnya.
Buyung mengkritik mantan Ketua MPR Amien Rais yang mendesak pemerintah memaafkan Soeharto. Menurut dia, Amien tidak konsisten menggulirkan reformasi, yang salah satu agendanya adalah menegakkan supremasi hukum. ’’Saya tantang debat Amien Rais soal ini,’’ tegasnya.
Mantan ketua YLBHI itu menilai, penyelesaian di luar pengadilan juga memungkinkan untuk dilaksanakan. Namun, dia tidak sepakat tawaran pengacara Soeharto yang menuntut tidak ada kompensasi dan ganti rugi. Bila penyelesaian non pengadilan dipilih, semua aset dan kekayaan yang seharusnya milik negara dikembalikan. ’’Mereka (pengacara dan keluarga Soeharto) kan justru yang meminta. Kenapa belakangan menolak? Seolah-olah ini hanya untuk gagah-gagahan,’’ kecamnya.
DESAKAN TRY SUTRISNO
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi membantah pemerintah telah meminta kompensasi atau menuntut pembayaran utang ketika membicarakan penyelesaian kasus perdata mantan Presiden Soeharto. Presiden SBY yang ketika itu tengah berkunjung ke Malaysia justru hanya merespons desakan keluarga Cendana agar menyelesaikan kasus perdata saat kondisi kesehatan Soeharto memburuk Jumat (11/1) malam.
”Sama sekali tidak benar ada permintaan kompensasi uang dan sebagainya. Sama sekali tidak ada. Kita setengah terkejut ketika malam itu juga didesak menyelesaikan kasus Pak Harto,” ujar Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dalam keterangan pers di gedung Depnakertrans, Jakarta, Rabu (16/1).
Sudi yang menyertai kunjungan Presiden SBY ke Malaysia menuturkan, desakan agar pemerintah menyelesaikan kasus hukum Soeharto disampaikan mantan Wapres Try Sutrisno yang menelepon langsung SBY. Desakan juga disampaikan Wapres Jusuf Kalla, yang juga menerima telepon dari Try Sutrisno.
Dalam hubungan telepon pukul 23.30 tersebut, Jusuf Kalla mengatakan baru saja mendapatkan telepon dari Try Sutrisno bahwa keluarga Cendana menginginkan malam itu juga kasus Soeharto diselesaikan. ”Presiden setengah terkejut ketika malam itu juga diminta menyelesaikan kasus Pak Harto,” ungkapnya.
Karena tidak memahami penyelesaian hukum yang dimaksud keluarga Soeharto, tutur Sudi, Presiden SBY lantas mengutus Jaksa Agung Hendarman untuk memperjelas penyelesaian hukum yang diminta. ”Saya tidak mau mengomentari apa yang dibicarakan keluarga Pak Harto dan jaksa agung karena itulah yang kemudian menjadi polemik,” terangnya.
Namun, pada Sabtu pagi, pengacara dan keluarga Soeharto justru mempermalukan pemerintah dengan mengatakan bahwa pemerintah meminta keluarga Soeharto membayar kompensasi. Keluarga Cendana menuding bargaining hukum tidak etis karena dibicarakan ketika Soeharto dalam kondisi kritis. ”Padahal, kita tidak pernah kita membicarakan (kompensasi). Tidak dari presiden, tidak dari jaksa agung. Justru Presiden SBY meminta dokter kepresidenan menangani kesehatan Pak Harto sebaik-baiknya,” tegas Sudi.
Mendengar kondisi kesehatan Presiden Soeharto memburuk, Presiden SBY Jumat malam memutuskan mempercepat kunjungan di Malaysia. Sesampainya di tanah air, Presiden SBY lantas mengundang jaksa agung ke kediaman pribadinya untuk menjelaskan pembicaraan dengan keluarga Soeharto. ”Jelas tidak ada keinginan dan niat pemerintah dalam situasi Pak Harto seperti itu, mengungkit-ungkit atau mempermasalahkan (kompensasi). Kita menghendaki proses dalam sistem hukum yang ada berjalan,” katanya.
Ditanya apakah Presiden SBY bisa memberikan pengampunan, Sudi menjawab bahwa pengampunan tidak bisa begitu saja diberikan. ’’Semua harus melalui proses hukum andaikata sudah ada keputusan baru presiden bisa mengeluarkan hak tersebut berdasar mekanisme yang ada,’’ kata Sudi.
Desakan mantan Ketua MPR Amien Rais agar Presiden SBY atas nama rakyat Indonesia mengampuni Soeharto juga dinilai pemerintah tidak tepat. Presiden hanya memiliki empat hak yang bisa digunakan untuk mengampuni seseorang yang diputus bersalah di muka hukum.
Presiden tidak memiliki hak pengampunan (pardon) seperti yang dikenal dalam sistem hukum Amerika Serikat. Sudi mencontohkan, grasi hanya dapat diberikan setelah ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap atas pertimbangan Mahkamah Agung.
Tapi, karena status hukum Pak Harto tidak jelas, presiden memilih menganut asas praduga tak bersalah. ’’Presiden tidak laik mengeluarkan hak yang tidak sesuai dengan ketentuan dan aturan hukum yang berlaku,’’ ujarnya.
Sementara itu, Ketua MPR Hidayat Nurwahid menegaskan, wacana pencabutan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN dalam rangka memaafkan Soeharto dianggap mengada-ada. Menurut dia, hal itu berarti mencabut komitmen reformasi dan komitmen untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
’’Saya ingatkan, mencabut Tap MPR itu lucu. Kasusnya Pak Harto kok yang dicabut Tap MPR,’’ ujarnya usai menghadiri peluncuran buku Menyusun Konstitusi Transisi di Aula Mahkamah Konstitusi kemarin (16/01). Mantan presiden PKS itu mengaku yakin masyarakat akan menolak pencabutan itu.
Dia menambahkan, wacana pencabutan Tap MPR tersebut dikhawatirkan ada yang menunggangi. ’’Soal wacana pencabutan itu, takutnya ditunggangi kepentingan kroni,’’ lanjutnya.
Proses hukum adalah langkah terbaik dan satu-satunya cara. Menurut Hidayat, Tap MPR yang berisi komitmen untuk memberantas KKN para pejabat, mantan pejabat, kroni, dan Soeharto sendiri sesuai asas praduga tak bersalah akan gugur dengan sendirinya jika seluruh ketentuan dalam aturan tersebut dilaksanakan. ’’Orientasi memaafkan justru tidak menaati asas praduga tak bersalah. Padahal, Tap MPR mengharuskan itu,’’ kata Hidayat.
Kasus Soeharto, lanjut dia, harus tetap dibawa ke pengadilan. ’’Kemudian, dinyatakan tidak bersalah, ya sudah, tak perlu ada permaafan. Jika ternyata dinyatakan bersalah, baru diberi maaf,’’ tambahnya.
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang hadir dalam acara tersebut enggan berkomentar. Sebelumnya, MA mengeluarkan perintah kepada Kejagung untuk mengobati Soeharto hingga sembuh untuk kepentingan dihadapkan ke persidangan. ’’Ketua MA tidak komentari kasus yang sedang dalam proses atau berpotensi sebagai kasus,’’ ujar Bagir, lantas menambahkan bahwa dirinya tak akan menjenguk Soeharto, namun hanya mendoakan. (noe/ein/naz/tof)
Kamis, Januari 17, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar